1. Pengertian Hukum Perikatan
Hukum perikatan adalah
adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau
lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban
atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat
hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang
menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu
terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat
dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of
succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu
pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam
lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak
atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Beberapa sarjana juga
telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian
perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua
orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak
lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Di dalam
perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu.
Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan
yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan
perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak
melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian. Contohnya;
perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi
sinar matahari atau sebuah perjanjian agar memotong rambut tidak sampai botak.
2. Dasar
Hukum Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan
undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi
undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber
undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut
hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum
perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
·
Perikatan yang timbul dari persetujuan (
perjanjian )
·
Perikatan yang timbul dari undang-undang
·
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi
terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan
sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber
perikatan berdasarkan undang-undang :
·
Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) :
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan
ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu.
·
Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan
diri terhadap satu orang lain atau lebih.
·
Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) :
Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang
3. Azas-azas
dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni
menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
·
Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang
menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para
pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
·
Asas konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat
tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan
tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320
KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata
Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak
yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang
pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap
untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus
cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah
pengampuan.
3. Mengenai
Suatu Hal Tertentu
Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus
jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek,
diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu
perselisihan antara para pihak.
4. Suatu
sebab yang Halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan
(causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban
umum.
4. Wanprestasi
dan akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan
apa yang diperjanjikan.
Adapun
bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1.
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukannya;
2.
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi
tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3.
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukannya.
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur
yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1.
Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur
(Ganti Rugi)
Ganti rugi
sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a.
Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan
yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b.
Rugi adalah kerugian karena kerusakan
barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c.
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan
keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2.
Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247
dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum
perjanjian diadakan.
3.
Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi
suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan
menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
5. Hapusnya
Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan
Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan
adalah sebagai berikut :
a. Pembayaran
merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela;
b. Penawaran
pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
c. Pembaharuan
utang;
d. Perjumpaan
utang atau kompensasi;
e. Percampuran
utang;
f. Pembebasan
utang;
g. Musnahnya
barang yang terutang;
h. Batal/pembatalan;
i. Berlakunya
suatu syarat batal;
j. Lewat
waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar